A. PENDAHULUAN
Alasan dimasukannya social studies (Pendidikan IPS) ke dalam
kurikulum sekolah karena berbagai ekses akibat industrialisasi di berbagai
negara di belahan dunia juga terjadi, di antaranya perubahan perilaku manusia
akibat berbagai kemajuan dan ketercukupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang mendorong industrialisasi telah menjadikan bangsa semakin maju dan modern,
tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial yang kompleks. Para ahli ilmu
sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses negatif yang
mungkin timbul di masyarakat akibat dampak kemajuan tersebut. Sehingga untuk
mengatasi berbagai masalah sosial di lingkungan masyarakat tidak hanya
dibutuhkan kemajuan ilmu dan pengetahuan secara disipliner, tetapi juga dapat
dilakukan melalui pendekatan program pendidikan formal di tingkat sekolah.
Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline)
di tingkat sekolah merupakan salah satu pendekatan yang dianggap lebih efektif
dalam rangka membentuk perilaku sosial siswa ke arah yang diharapkan. Bahkan
program pendidikan ini di samping sebagai bentuk internalisasi dan transformasi
pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya mempersiapkan sumberdaya manusia
yang siap menghadapi berbagai tantangan dan problematika yang makin komplek di
masa datang.
Oleh karenanya latar belakang perlu
dimasukkannya Social studies (pendidikan IPS) dalam kurikulum
sekolah di beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan alasan yang
berbeda-beda. Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan
kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari
berbagai macam ras di antaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras
kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika
untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Memandang perlunya pendidikan IPS
bagi setiap warga negara apresiasi terhadap social studies (pendidikan
IPS) terus bertambah dari berbagai negara, terutama di Amerika, Inggris, dan
berbagai negara di Eropa, dan baru berkembang ke berbagai negara di Australia
dan Asia termasuk Indonesia.
Latar belakang dimasukkannya bidang
studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia juga hampir sama dengan di
beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau dan pertentangan politik
bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang sangat rentan
terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat konflik dan situasi nasional
bangsa yang tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan G30S/PKI dan berbagai
masalah nasional lainnya di pandang perlu memasukan program pendidikan sebagai
propaganda dan penanaman nilai-nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan
bernegara ke dalam kurikulum sekolah.
B.
TUJUAN
Setelah
mempelajari materi ini secara umum, mahasiswa diharapkan dapat memiliki
kemampuan untuk mejelaskan Sejarah perkembangan IPS.
Secara khusus,
mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan
sejarah perkembangan IPS secara umum
2. Menjelaskan
sejarah IPS di Indonesia
C.
SEJARAH
PERKEMBANGAN IPS SECARA UMUM
Ilmu
Pengetahuan Sosisal (IPS) adalah terjemahan dari Social Studies. Perkembanagan IPS dapat kita lihat melalui
sejarah Social Studies yang dikembangkan oleh Amerika Serikat (AS) dalam
karya akademis dan dipublikasikian oleh National
Council for the Social Studies (NCSS) pada pertemuan organisasi tersebut
tahun 1935 sampai sekarang.
Definisi
tentang “Social Studies” yaitu
ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendididkan, kemudian
pengertian ini dibakukan “Social Studies”
meliputi aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi,
antropologi, pisikologi, ilmu geografi, dan filsafat yang dalam praktiknya
dipilih untuk tujuan pembelajaran di sekolah dan di perguruan tinggi.
Dalam
pengertian awal “Social Studies” tersebut
diatas terkandung hal-hal sebagai berikut:
1. Social Studies merupakan
turunan dari ilmu-ilmu sosial
2. Disiplin
ini dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan atau pembelajaran, baik pada
tingkat sekolah maupun tingkat
pendidikan tinggi.
3. Aspek-asoek
dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu diseleksi sesuai dengan
tujuan tersebut.
Pada tahun 1940-1960
ditegaskan oleh Barr, dkk (1977:36) yaitu terjadinya tarik menarik antara dua
visi Social Studies. Di satu pihak,
adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk
tujuan citizenship education, yang terus
bergulir sampai mencapai tahap yang
lebih canggih. Di pihak lain, terus bergulirnya gerakan pemisahan sebagai disiplin
ilmu-ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi social studies education. Hal tersebut, merupakan dampak dari
berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah,
terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa.
Benyaknya
gerakan-gerakan yang muncul akibat dari tekanan yang cukup dahsyat untuk
mereformasi Social Studies. Mereka menganggap perlu adanya perubahan
pembelajaran Social Studies menjadi
pembelajaran yang berorientasi the
integrated, reflected inquiry, and problem centered (Barr, dkk.; 41-82) dan
memperkuat munculnya gerakan The new
Social Studies.
Atas pendapat para
pakar, akhirnya para sejarawan, ahli ilmu sosial, dan pendidikan sepakat untuk
melakukan reformasi Social Studies dengan
menggunakan cara yang berbeda dari sebelum pendekatan tersebut adalah dengan
melalui proses pengembangan kurikulum sekelompok pendidik, ahli psikologi, dan
ahli ilmu sosial secara bersama-sama mengembangkan bahan ajar berdasarkan temuan
penelitian dan teori belajar, kemudian diujicobakan di lapanagan, selanjutnya
direvisi, dan pada akhirnya disebarluaskan untuk digunakan secara luas dalam
dunia persekolahan.
Jika dilihat dari Visi
misi dan strateginya, Barr, dkk. (1978:1917) Social Studies telah dan dapat dikembangkan dalam tiga tradisi,
yaitu:
1.
Social
Studies Taught as citizenship Transmission
Merujuk pada suatu
modus pembelajaran sosial yang bertujuan untuk mengembangkan warga negara yang
baik sesuai dengan norma yang telah diterima secara baku dalam negaranya.
2.
Social
Studies Taught social Science
Merupakan modus
pembelajaran sosial yang juga mengembangkan karakter warga negara yang baik
yang ditandai oleh penguasaan tradisi yang menitik beratkan pada warga Negara
yang dapat mengatasi masalah-masalah sosial dan personal dengan menggunakan
visi dan cara ilmuan sosial.
3.
Social
Studies Taught as Reflective Inquiry
Merupakan modus
pembelajaran sosial yang menekankan pada hal yang sama yakni pengembangan warga
negara yang baik dengan kriteria yang berbeda yaitu dilihat dari kemampunnya
dalam mengambil keputusan’
Tahun
1992, the board of direction of the
national Council for the social studies mengadopsi visi ternaru mengenai Social Studies, yang kemudian
diterbitkan resmi oleh NCSS pada tahun 1994 denga judul Expectation of Excellence: Curriculum Standard for Social Studies. Sebagai
rambu-rambu dalam rangka mewujudkan
visi, misi, dan strategi baru Social
Studies, NCSS (1994) menggariskan hal-hal sebagai berikut:
1.
Program Social Studies mempunyai tujuan pokok
yang ditegaskan kembali bahwa civic
competence bukanlah hanya menjadi tanggung jawab Social Studies.
2.
Program Social Studies dalam dunia pendidikan
persekolahan, mulai dari taman kanak-kanak sampai ke pendidikan menengah,
ditandai oleh keterpaduan “ …knowlwdge,
skill, and attitudes within and across disciplines (NCSS, 1994:3).
3.
Program Social Studies dititik beratkan pada
upaya membantu siswa dalam construct a
knowledge base and attitude drawn from academic discipline as specialized ways
of viewing reality (NCSS, 1994:4).
4.
Program Social Studies mencerminkan “ …the changing nature of knowledge,
fostering entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of
significance to humanity” (NCSS, 1994:5).
D.
SEJARAH
PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA
Istilah
IPS pertama kali muncul dalam seminar Nasional tentang Civic Education tahun
1972 di Tawangmagu Solo Jawa tengah. Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3
istilah dan digunakan secara tukar pakai, yaitu:
1.
Pengetahuan
sosial
2.
Studi sosial
3.
Ilmu Pengetahuan
Sosial
Konsep
IPS untuk pertamakalinya masuk ke dunia persekolahan pada tahun 1972-1973 dalam
Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam
kurikulum SD 8 tahun PPSP ini digunakan istilah “Pendidikkan Kewarganegaraan Negara/Studi
Sosial” sebagai mata pelajaran terpadu.
Sedangkan dalam Kurikulum Menengah 4 tahun,
digunakan istilah :
1.
Studi sosial
sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk
geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai mata pelajaran mayor pada jurusan IPS
2.
Pendidikan
Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan
3.
Civics dan Hukum
sebagai mata pelajaran mayor pada jurusan IPS
Pada tahap
Kurikulum PPSP konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam 3 bentuk, yaitu :
1.
Pendidikan IPS,
terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial
2.
Pendidikan IPS
terpisah, istilah IPS digunakan sebagai konsep payung untuk sejarah, ekonomi,
dan geografi.
3.
Pendidikan Kewargaan
Negarasebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
Konsep pendidikan IPS tesebut lalu
member inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang menampilkan 4 profil, yaitu :
1.
Pendidikan Moral
Pancasila sebagai pengganti Kewargaan Negara sebagai bentuk pendidikan IPS
khusus.
2.
Pendidikan IPS
terpadu untuk SD
3.
Pendidikan IPS
terkonfederasi untuk SNIP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung untuk
sejarah, ekonomi kopersi, dan geografi.
4.
Pendidikan IPS
terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi, dan geografi
untuk SMA, atau sejarah geografi untuk SPG.
Konsep
IPS seperti itu dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang secara konseptual
merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975 khususnya dalam aktualisasi materi
seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai
materi pokok PMP.
Dalam
Kurikulum 1984, PPKN sebagai mata pelajaran social khusus yang wajib diikuti
oleh semua siswa SD, SLTP, SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam:
1.
Pendidikan IPS
terpadu di SD kelas III-VI
2.
Pendidikan IPS
terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi.
3.
Pendidikan IPS
terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I-II,
Ekonomi dan Geografi di kelas I-II, Sejarah Budaya di kelas III Program IPS.
Dimensi konseptual mengenai
pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah,
yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum Komunikasi
Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang
tahun 1993, Konvrensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi yang selalu menjadi agenda
pembahasan ialah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan di Ujung Pandang, M.
Numan Soemantri, pakar sekaligus ketua HISPISI menegaskan adanya dua versi PIPS
sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta, yaitu:
a.
Versi PIPS untuk
Pendidikan Dasar dan Menengah
PIPS adalah penyederhanaan,
adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar
manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan pedagosis/psikologis
untuk tujuan pendidikan.
b.
Versi PIPS untuk
Jurusan Pendidikan IPS-IKIP
PIPS adalah seleksi dari didiplin
ilmu-ilmu social dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir
dan disajikan secara ilmiah dan pedagosis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS
untuk tingkat perguruan tinggi Pendidikan Guru IPS dirkonseptualisasikan segabagai disiplin ilmu, sehingga menjadi
Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial (PDIPS)
Bertitik
tolak dari pemikiran mengenai kedudukan koseptual PDIPS, dapat diidentifikasi
sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu:
1. Karakteristik
potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP, dan SMU.
2. Karakteristik
potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.
3. Kurikulum
dan bahan ajar IPS SD, SLTP, dan SMU.
4. Disiplin
ilmu-ilmu social, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5. Teori,
prinsip, strategi, media, serta evaluasi pembelajaran IPS.
6. Masalah-masalah
sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak social.
7. Norma
agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
E.
PARADIGMA
PEMBANGUNAN PENGETAHUAN DALAM BIDANG PDIPS
Secara oprasioanal paradigma pembangunan
pengetahuan dalam bidang PDIPSdiartikan sebagai pola piker, pola sikap dan pola
tindak yang tertata secara utuh yang seyogyanya digunakan oleh para pakar atau
ilmuan PDIPS dalam melakukan kegiatan “Konstruksi, Interpretasi, Transformasi,
dan Rekonstruksi (KITR)” pengetahuan sampai pada akhirnya ditemukan teori.
(sanusi, 1998:19).
F.
KESIMPULAN
Perkembanagan
social studies sebagai bidang kajian
yang telah menjadi dasar ontologi dan suatu system pengetahuan yang terpadu yang
secara etimologi telah mengurangi suatu perjalanan pemikiran dalam kurun waktu
60 tahun lebih yang dimotori dan diwadahi oleh NCSS sejak tahun 1935. Pemikiran
mengenai social studies sebagaimana telah dibahas tercatat banyak mempengaruhi
pemikiran dalam bidang itu di negara lain, termasuk pemikiran mengenai
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) di Indonesia
Dari
penelusuran sejarah tercatat bahwa dalam kurun waktu 40 tahun sejak tahun 1935
tentang social studies mengalami
perkembangan yang ditandai dengan ketakmenentuan, tidak ada keputusan, tidak ada kesatuan, dan tidak
ada kemajuan. Pada saat itu tahun 1940-1950 social studies mendapat serangan
dari berbagai sudut yang menimbulkan tarik menarik antara pendukung gerakan The New Social studies yang dimotori oleh para sejarawan dan
ahli-ahli ilmu sosial sengan gerakan social studies yang menekankan pada citizenship education.
Di
Indonesia Pendidikan IPS dalam dunia persekolahan berkembang juga secara
evolusioner sejak tahun 1967 dengan munculnya gagasan IPS,yang kemudian muncul
pendidikan IPS ala Pendidikan Kewarganegaraan menurut Kurikulum SD 1968,
kemudian berubah menjadi Pengajaran IPS dalam Kurikulum PPSP 1973, berubah lagi
menjadi Pengajaran IPS dan PMP dalam Kurikulum 1975 dan 1984 dan pada akhirnya
muncul mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan
pengajaran IPOS terpadu di SD.
Secara konseptual PDIPS merupakan
suatu system pengetahuan terpadu atau integrated
knowledge system yang bersumber dan bertolak dari ilmu-ilmu
social, ilmu pendidikan, ilmu lainnya sebagai latar operasional,
diorganisasikan secara ilmiah dan pisikopedagogis.
0 komentar:
Posting Komentar